
Mr. Red Wristlet-watch
A story by Laela Nifi & Hasanah Niggrat
***
"Ashaaaaa....." teriak seorang gadis sambil berlari tergesa-gesa
masuk ke dalam sebuah ruang kelas. Gadis yang dipanggil Asha itu hanya memutar
matanya bosan. Pasien lagi, batinnya. Asha mengalihkan matanya dari novel yang
sedang dibacanya dan mendongak. Ia menemukan Hana, kakak kelasnya berdiri di
samping mejanya.
"Duduklah," perintah Asha, menunjuk bangku kosong di sampingnya.
"Ceritain masalah kakak," lanjut gadis itu. Hana pun mulai bercerita
tentang masalahnya, masalah percintaannya kepada Asha.
Di sekolah, Asha sudah biasa menjadi tempat curhat bagi para gadis yang sedang
mempunyai masalah percintaan dengan pacar mereka. Terkadang Asha juga
memberikan nasihat kepada gadis-gadis itu. Ya walaupun pada kenyataannya dia
belum pernah sekalipun menghadapi masalah-masalah percintaan seperti itu karena
sampai sekarang dia bahkan tidak pernah berpacaran sekalipun. Tapi ajaibnya nasihat-nasihatnya
selalu diterima oleh gadis-gadis bermasalah itu. Ah bukan hanya masalah
percintaan saja sebenarnya, masalah keluarga, sampai masalah nilai sekolah pun
kadang dipertanyakan oleh mereka.
"PUTUSIN AJA!!!" sambar Asha menjawab pertanyaan Hana.
"Tapi kakak masih suka sama dia, masih sayang sama dia, Ashaaa~"
Lagi, Asha hanya menarik napas dan memutar matanya. Bosan, itulah tepatnya yang
ia rasakan saat menjawab pertanyaan mereka. Selalu saja seperti ini pada
awalnya. Mereka berkeluh kesah, bimbang, dan lain-lain. Membuat Asha harus
mempersiapkan petuah panjang untuk mereka.
"Aisssssshh.... Kak Hana itu berniat meminta pendapatku atau tidak sih
sebenarnya?" kesal Asha. Gadis itu menekuk wajahnya sebal, membuat Hana
tidak berani berbicara lagi. Tapi Asha kasihan juga melihat kakak kelasnya ini
menjadi takut padanya. Sesaat kemudian gadis itupun menghela napasnya. Sabar
Sha, bisiknya dalam hati.
"Oke, sekarang gini aja, dia hanya sekali saja kan tidak membalas SMS
kakak? Tidak jumpa satu kali pas malam minggu? Cobalah berpikir positif.
Mungkin saja dia sedang banyak tugas kuliah jadi tidak sempat untuk SMS kakak
atau bertemu kakak. Jangan berpikir yang macam-macam soal dia selingkuh.
Sekarang Asha tanya, apa kakak udah pernah lihat dia selingkuh pakai mata
kepala kakak sendiri? Belum kan?" terang Asha. Hana terdiam mencerna
kata-kata Asha. Iya juga sih, pikir gadis itu dalam hatinya.
"Sha, kita jadi pergi les bareng, kan?" sambar Nadine tiba-tiba dari
balik pintu kelas. Gadis itu memberi isyarat mata kepada Asha agar gadis itu
mengiyakan pertanyaannya.
"Oh iya, hari ini kan ada les. Kakak, Asha pulang dulu ya, ada les. Kalau
belum puas curhatnya kapan-kapan kita lanjut lagi, oke?"
"Tapi sha, kita kan belum selesai. Nanti kakak traktir makan deh, gimana?
Mau ya?" Aduh makanan, batin Asha. Berat rasanya jika menolak tawaran
baik.
"Ashaaaaaaaaaaaaa......!!! Ayo, kita hampir telat ini!" balas Nadine
sambil melotot garang melihat kelakuan temannya yang kalau sudah diumpan dengan
makanan pasti lupa daratan.
"Iya iya, duluan ya kak. Curhatnya dilanjut lain kali aja." Asha pun
segera memasukkan novelnya ke dalam tas dan beranjak keluar kelas menyusul
Nadine.
"Gimana sih Sha? Tadi kamu suruh aku akting bilang kita mau pergi les. Eh
pas denger kata makan aja, lupa sama rencana melarikan diri dari pasienmu
itu," gerutu Nadine, kesal.
"Hehehe," balas Asha dengan cengiran lebarnya, tidak memperdulikan
omelan Nadine.
Kedua gadis itu terus mengobrol, tidak memperhatikan bahwa ada seseorang beberapa
meter di depan mereka yang sedang berkonsentrasi dengan handphone-nya, hingga
akhirnya Asha menabrak punggung orang itu.
"Ah, maaf. Aku tidak lihat," ucap Asha meminta maaf. Gadis itu
menunduk sembari mengusap-usap dahinya yang terasa sakit. Punggung orang itu
keras sekali. Aku seperti menabrak batu besar, gerutu Asha dalam hati.
Orang itu membalikkan badannya tepat pada saat Asha mendongak. Seketika itu
juga Asha membeku di tempatnya. Bukan, bukan karena wajah orang itu yang tampan
bak pangeran, tapi lebih kepada jam tangan yang dikenakan oleh orang itu. Jam
tangannya berwarna merah.
Asha terus menatap jam tangan merah itu, hingga beberapa saat kemudian Nadine
menyenggol lengannya, membuatnya tersadar akan apa yang sedang ia lakukan.
Gadis itu beralih menatap wajah pria di depannya dan mendapati bahwa tinggi
badannya hanya sampai dada pria itu. Sial! Itu penghinaan namanya!
Pria itu mengerutkan dahi, entah apa yang sedang dipikirkannya, Asha tidak tahu
dan tidak berniat untuk mencari tahu. Tapi sesaat kemudian pria itu membalikkan
badannya dan pergi.
“Ayo sha,” ajak Nadine sambil menarik tangan Asha dan membawanya kembali ke
duania nyata.
Pria itu, siapa namanya? Tiba-tiba dia penasaran.
***
***
"Nad, kamu lihat jamnya?"
"Jam siapa?" tanya Nadine balik bertanya.
"Itu, jam orang tadi yang aku tabrak," jawab Asha bersemangat.
"Jam? Aku tidak memerhatikan jamnya," ucap Nadine acuh.
"Ah payah. Jamnya warna merah lho Nad, warna MERAH!" balas Asha
berapi-api.
"Terus?"
"Aku suka jamnya," ucap Asha singkat. Gadis itu tiba-tiba tersenyum
mencurigakan. "Nad, boleh minta tolong tidak?"
"Jangan menggunakan nada manis seperti itu, Sha. Kau membuatku takut.
Cepat katakan, mau minta tolong apa?" ucap Nadine cepat. Gadis itu ngeri
sendiri melihat temannya berubah menjadi manis.
"Bisa carikan informasi siapa nama orang itu? Dan kelas berapa
dia?"
"Ckk.... Aku kira minta tolong apa. Kalau itu sih aku tahu. Dan mungkin
semua orang di sekolah ini tahu, kecuali kau! Tapi, bukannya kau hanya tertarik
pada jam tangannya? Kenapa tanya nama dan kelasnya? Ah~ kau suka padanya
ya?" tebak Nadine.
"Sudahlah, tidak usah banyak bicara. Kau mau membantuku tidak?" Hah,
setannya sudah kembali, batin Nadine.
"Kalau kau tidak mau membantuku ya sudah. Tapi awas ya kalau kau
curhat-curhat lagi tentang Anan," ancam Asha kemudian.
"Eh, kok gitu sih Sha? Aku kan cuma bercanda. Lagi pula, kau itu kuper
sekali sih, Sha. Dia kan kakak kelas terkeren. Namanya Alby Luthfy Adinata.
Biasa dipanggil Alby. Dia satu kelas sama Anan," beri tahu Nadine.
"Oh," balas Asha singkat. "Ayo les!" lanjut gadis
itu.
"Eh?" Nadine mengerutkan keningnya. "Kamu sakit ya Sha?"
tanya Nadine sambil menempelkan telapak tangannya ke kepala Asha. Asha berusaha
menjauhkan kepalanya dari jangkauan tangan temannya itu.
"Ini kan hari Sabtu. Kita mana ada les hari ini? Atau karena kamu lagi
jatuh cinta sama kak Alby, si Mr. Jam Tangan Merah itu makanya otakmu jadi
konslet gitu?" goda Nadine.
"Tutup mulutmu Nad!" ucap Asha memperingatkan sambil memalingkan
wajahnya. Tapi Nadine masih bisa melihat wajah Asha berubah memerah.
"Cieee... yang lagi jatuh cinta. Ternyata penasihat cinta kita bisa jatuh
cinta juga. Tapi, kau jatuh cinta pada Alby, atau jam tangannya?" goda
Nadine lagi, membuat wajah Asha menjadi lebih memerah.
"Nadiiiiiiiiiiiiiine!! Awas kau! Akan aku beri tahukan pada Anan kalau
sebenarnya kau su...." Perkataan Asha terputus karena Nadine mebekap
mulutnya. "Le...pas...kan..."
"Hai Sha, Nad," sapa seseorang. Deg, bekapan tanggan Nadine terlepas
seketika. Suara itu.... Anan?
"Awas kau Sha. Kalau kau berani bicara yang macam-macam sama Anan, mati
kau," bisik Nadine di telinga Asha agar gadis itu tidak membuka
suaranya.
"Tidak akan," balas Asha santai. Tidak macam-macam, hanya beberapa
macam saja. Hihihi....
"Eh Anan, pucuk dicinta ulam pun tiba," mulai Asha. Anan dan Nadine
yang melihatnya hanya bisa mengerutkan dahi. Mau apa gadis ini? Tiba-tiba
Nadine merasa was-was dengan gelagat mencurigakan temannya ini.
"Nan, ada yang mau bicara nih sama kamu," ucap Asha kemudian, dan
gadis itu langsung mendapatkan hadiah berupa tatapan membunuh dari
Nadine.
"Ada apa Sha?"
"Sebenarnya sih bukan Asha yang mau ngomong. Tapi ini, si Nadine. Dia
ngajak Asha nonton, tapi Asha habis ini mau pergi sama mama, jadi Anan aja ya
yang gantiin Asha nemenin Nadine?" pinta Asha dengan wajah manisnya yang
dibuat-buat. Nadine semakin mendelik ke arahnya. Sialan kau, Asha!
***
"Kau gila, Sha! Kau mau aku bunuh sekarang?" sembur Nadine saat
mampir ke rumah Asha.
"Kalau aku gila, berarti kamu berteman sama orang gila dong. Dan itu
berarti kamu juga gila," balas Asha sekenanya.
"Aku serius!" geram Nadine.
"Aku lebih serius," jawab Asha pura-pura serius. "Eh,
ngomong-ngomong tadi bagaimana? Kamu jadi jalan sama Anan?"
"Ashaaaaaaaa kamu tuh ya, bikin aku mau mati! Tapi makasih, aku senang
akhirnya bisa jalan berdua sama Anan," ucap Nadine sambil tersipu
malu.
"Jadi, kapan kamu mau ungkapin perasaan kamu ke Anan? Aku bosan dengar
curhat kamu terus." Plakk
"Auwww, sakit Nad! kalau mau sayang-sayangan jangan sama aku, mending sama
Anan." Plakk
"Nadine sakittt!!"
"Makanya jangan berbicara sembarangan. Aku jadi heran, kok bisa orang
macam kamu jadi tempat curhat orang-orang sesekolahan?" ujar Nadine heran.
"Oh ya, besok aku mau jalan lagi sama Anan dan mungkin besok juga aku mau
bilang kalau aku suka sama dia. Dan aku mau kamu bantu aku bikin surat cinta
buat dia. Kamu mau kan, Sha? Mau aja ya Sha?" mohon Nadine.
“Kau meminta tolong apa memaksaku, hah?” sembur Asha pada Nadine. Nadine hanya
nyengir kuda. Seperti tidak mempunyai dosa saja, dumel Asha dalam
hatinya.
"Makasih Asha, kau memang teman terbaikku. Tapi Sha, apa kau tidak ingin
ikut membuat surat untuk kak Alby?" tanya Nadine kemudian.
"Tidak! Terima kasih," sambar Asha cepat, takut kalau nanti Nadine
tahu yang sebenarnya kalau dia sudah mempunyai niatan untuk membuat surat buat
Alby.
"Kau yakin? Sha aku tahu kau itu sangat susah hanya untuk sekedar suka
pada lawan jenis. Jadi buat sajalah. Mana tahu dengan membuat surat itu
perasaanmu jadi lebih terarah?" bujuk Nadine. Asha terlihat berpikir
sesaat sebelum memutuskan.
"Baiklah. Tapi aku mau kertas yang warna merah. Kau pilih saja yang
lain," putus Asha.
"Cih, tadi siapa yang bilang tidak mau? Kenapa sekarang malah dia yang
bersemangat untuk menulis surat?" gerutu Nadine pelan.
"Kau bilang apa barusan?" tanya Asha memastikan pendengarannya.
"Tidak ada," elak Nadine. "Ah, apa yang akan aku
tulis?"
***
"Loh Nad, kok suratnya masih ada di kamu? Kamu belum kasih suratnya ke
Anan?" tanya Asha saat melihat surat cinta yang ditulis Nadine hari Sabtu
lalu masih ada di dalam tas gadis itu.
"Belum Sha. Aku tidak berani. Kau sendiri?" Nadine balik bertanya.
Dilihatnya isi tas Asha dan surat gadis itu juga masih ada.
"Aku juga Nad. Keberanianku Sabtu kemarin menghilang seketika. Lihat
wajahnya dari jauh aja udah bikin aku blank," jawab Asha lemas. Gadis itu
mengeluarkan suratnya dan memandangi benda itu dengan tatapan hampa.
"Ah, sepertinya Tuhan masih sayang dengan status jomblo kita," ucap
Nadine asal.
"Mungkin."
"Hai ladies!" seru seseorang tiba-tiba dari luar kelas, membuat kedua
gadis galau itu terlonjak kaget. Mereka mengok ke arah pintu dan menemukan Anan
tengah melongokkan kepalanya ke dalam kelas. Pria itu lalu melangkah ke arah
meja Nadine dan Asha. "Kalian belum pulang?" tanyanya setelah sampai
di samping meja kedua gadis itu. Jam sekolah sudah usai dan hanya ada kedua
gadis itu di dalam kelas. Pantas kalau Anan bertanya seperti itu.
"Sebentar lagi," jawab Asha pendek. Anan melihat gadis itu sedang
memasukkan barang-barangnya, dan ada sebuah kertas berwarna merah tergeletak di
atas meja. Kertas apa itu?
"Ini kertas apa, Sha?" tanya Anan penasaran. Asha membelalakkan matanya
seketika saat tangan Anan bergerak untuk mengambil kertas itu.
"Jangan dibaca!" seru Asha. Telat! Anan sudah berhasil membaca satu
baris tulisannya. Mata pria itu membelalak kaget.
"Untuk Alby?" seru Anan syok. Plakk!
"Jangan keras-keras bodoh!" sembur Asha. Namun Anan tidak
menghiraukan kata-kata gadis itu. Ia terus membaca surat itu sampai
akhir.
"Jadi kau menyukai Alby?" tanya Anan setelah selesai membaca surat
Asha.
"Dia gila. Suka pada seseorang hanya karena orang itu memakai jam tangan
warna merah," komentar Nadine. Asha menekuk wajahnya, sebal mendengar
komentar temannya itu.
"Kau sendiri apa? Suka pada seseorang hanya karena orang itu ja....
Hmmm...." Perkataan Asha terpotong karena Nadine membekap mulutnya. Gadis
itu tidak mau Asha membocorkan rahasianya pada orang yang ia sukai. Sedangkan
Anan hanya melihat tingkah aneh kedua gadis itu dengan alis berkerut dan tidak
perduli. Pria itu melipat kembali surat Asha dan menyerahkannya pada gadis
itu.
"Ah iya, kita ada les Sha. Kita harus cepat pulang. Sampai jumpa
Anan." Nadine bergegas menyeret Asha untuk pulang.
***
Seminggu kemudian. Jam istirahat...
"Asha," panggil Nadine pada Asha. Namun Asha hanya menggumam tanpa
mengalihkan perhatiannya dari komik Detective Conan yang sedang ia baca.
"Asha!" panggil Nadine sekali lagi, sedikit menaikkan volume
suaranya. Namun sekali lagi, Asha hanya menggumam.
"ASHA!" kali ini berupa seruan dari Nadine, dan Asha langsung
mendelik pada gadis itu.
"Apa sih Nad? Berisik tahu!" omel Asha. Gadis itu mengerucutkan
bibirnya ketika melihat temannya itu malah membalasnya dengan cengiran
lebar.
"Sha, ini tahun terakhir kak Alby di sekolah ini," beri tahu
Nadine.
"Lalu? Apa urusannya denganku?" balas Asha acuh. Gadis itu kembali
melanjutkan acara membacanya yang terganggu.
"Kau tidak mau mengatakan perasaanmu padanya?" tanya Nadine, membuat
Asha langsung menengok ke arahnya.
"Tidak akan!" jawab Asha tegas. "Dan hei, apakah tidak ada
pertanyaan lain? Setiap hari kau hanya menanyakan hal itu saja. Membuat
telingaku sakit saja," gerutu gadis itu kemudian.
"Tidak ada," sahut Nadine pendek. Asha mendecak kesal. Seandainya
mencekik orang itu diperbolehkan, dia akan mencekik gadis di depannya ini. Hah,
bagaimana dia bisa berteman dengan gadis menyebalkan seperti Nadine?
"Jadi kau tidak mau menyatakan perasaanmu pada kak Alby?" tanya
Nadine lagi.
"Mau aku bilang berapa kali lagi, hah? Aku tidak mau!" jawab Asha
kesal.
"Ah sayang sekali. Padahal ini kesempatan terakhirmu. Karena kabarnya setelah
lulus nanti kak Alby mau melanjutkan kuliah di Bandung. Bayangkan Sha! Bandung!
Jarak dari Medan ke Bandung jauh sekali! Kau tidak akan melihatnya lagi.
Terlebih kalau dia kesangkut gadis Bandung dan berniat menikah dengan gadis
itu. Mungkin dia tidak akan kembali lagi ke Medan. Dan akan kupastikan kau akan
menyesal seumur hidupmu kalau kau tidak menyatakan perasaanmu di tahun akhirnya
ini," jelas Nadine menakut-nakuti. Terlihat Asha berpikir sejenak. Namun
gadis itu malah tersenyum setelahnya, membuat Nadine mengernyit heran. Kenapa
gadis di depannya itu malah tersenyum?
"Aku yakin aku tidak akan menyesal karena tidak menyatakan perasaanku
padannya. Dan Nadine, berhentilah merecoki kehidupanku! Kau sendiri bagaimana,
hah? Kau saja sampai sekarang tidak berani kan menyatakan perasaanmu pada
Anan?" Dan skak mat! Nadine tidak berbicara lagi setelah itu.
***
Hari berikutnya...
"Asha, Asha, Asha, ayo buruan ikut." Nadine menarik-narik tangan Asha
agar cepat mengikutinya. Asha yang bingung hanya bisa pasrah ditarik-tarik oleh
temannya. Sampai di tempat tujuan, Nadine melepaskan pegangan tangannya dan
mendorong Asha untuk melihat sesuatu yang terpasang di papan mading.
"Lihat sendiri," suruh Nadine. Asha mengerutkan kening tidak
mengerti, tapi tetap menuruti apa yang Nadine katakan. Sesaat kemudian matanya
membelalak lebar melihat sebuah kertas berwarna merah terpasang di papan itu.
Ada tulisan tangannya di kertas itu. Dan ia tahu dengan jelas apa isinya.
Itu.... Surat cintanya untuk Alby. Sial! Siapa yang memasangnya?
Asha menatap nanar surat itu. Aisshh.... Pasti sudah banyak yang membacanya.
Apa Alby juga sudah membaca....
"Huwaaaaa...." teriak Asha tiba-tiba. Gadis itupun buru-buru
melarikan diri dari tempat itu. Sial! Kenapa dia tidak menyadari kalau Alby ada
di sampingnya? Asha bodoh! Rutuk gadis itu dalam hati. Gadis itu terus berlari
hingga akhirnya ia sampai di lapangan bola voli yang terletak di belakang
gedung lab TIK. Ia sedang mengatur napasnya yang sesak sehabis berlari ketika
ia mendengar sesorang berseru memanggilnya.
"Asha?" panggil orang itu. Asha memandang sekelilingnya dan melihat
Anan, Fachri Andreas Hanan, sahabatnya sedang melambaikan tangan ke arahnya di
sisi lain lapangan. Pria itu sedang duduk di pinggir lapangan, menonton anak-anak
yang sedang bermain bola voli. Asha menghampiri pria itu dan duduk di
sebelahnya.
"Kenapa kau berlarian seperti itu? Aku rasa tidak ada yang
mengejarmu," tanya Anan heran. Pria itu meneliti wajah sahabatnya, dan
mendapati titik-titik keringat di dahi gadis itu.
"Surat itu Nan," mulai Asha. "Ada yang mengambil surat
itu." Gadis itu berhenti saat merasakan telapak tangan Anan mengusap
dahinya pelan.
"Kau berkeringat," ujar pria itu pelan. "Lanjutkan
ceritamu!"
"Aku tidak tahu siapa yang mengambilnya dan tiba-tiba saja surat itu sudah
tertempel di mading. Dan parahnya lagi Alby sudah membacanya. Aisshh...
Bagaimana ini?" terang Asha panjang lebar dengan intonasi yang cepat.
Sedangkan Anan masih tetap mengusap dahi gadis itu. Pria itu tersenyum melihat
raut wajah sahabatnya yang sebal sekaligus ngeri membayangkan bagaimana reaksi
orang-orang satu sekolah setelah membaca surat gadis itu.
"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Kau kan sudah biasa membuat malu diri
sendiri. Jadi seharusnya kali ini tidak menjadi masalah," tukas pria itu
enteng. Dan seketika itu juga ia mendapatkan jitakan keras dari gadis di
hadapannya.
'Plak'
"Aww.... Asha, ini sakit," ucap Anan sambil mengusap-usap kepalanya
yang sakit.
"Aku tahu," balas Asha acuh. Ingin rasanya Anan balas menjitak gadis
ini. Namun ia masih berpikir waras. Sahabatnya ini seorang gadis, dan ia tidak
pernah setega itu untuk menyakiti seorang gadis.
"Ah~ Anan, bagaimana ini?" rengek Asha kemudian. Gadis itu
menelungkupkan kepalanya pada kedua lengannya yang ia tumpukan pada lutut. Anan
tersenyum geli melihatnya. Namun senyumnya pudar ketika melihat seseorang
sedang berjalan ke arah mereka.
Anan berdiri secara diam-diam dan pergi dari tempat itu tanpa Asha
ketahui.
"Nan..." Asha menengokkan kepalanya ke arah tempat Anan duduk tadi.
Tapi pria itu sudah tidak ada.
"Eh? Kemana anak itu?"
Asha tidak menyadari bahwa ada seseorang sedang berdiri di depannya dan
memandanginya intens. Orang itu menghela napas pelan lalu berujar.
"Jadi, kau suka padaku gara-gara jam tangan merah ini?" Deg. Itu kan
suara....
Asha mendongak dalam gerakan pelan, dan... Ya Tuhan.... Dia benar-benar Alby.
'Bagaimana dia bisa ada di sini? Aduuh tamatlah riwayatmu Sha.... Tapi, ya
sudahlah, masa bodo, jujur saja Sha,' ucap gadis itu dalam hati.
Asha sudah hendak membuka mulutnya untuk menjawab tapi pria di depannya malah
menyelanya.
"Atau sebenarnya kau hanya suka pada jam tanganku saja?"
"Apa?" tanya Asha tidak fokus. Pria itu berada tepat di depannya,
mengenakan seragam sekolah yang harusnya terlihat biasa-biasa saja tapi tidak
akan pernah menjadi biasa jika pria itu yang memakainya, dan jam tangan merah
itu memperkeruh keadaan. Gadis itu sangat suka dengan barang-barang berwarna
merah, dan jam tangan pria itulah yang paling ia sukai.
"Kau hanya suka pada jam tanganku?" ulang Alby. Seakan tersadar, Asha
buru-buru menggelengkan kepalanya.
"Tidak!" seru gadis itu.
"Lalu?" tanya Alby. 'Cisshh.... Tidakkah sudah jelas? Kenapa masih
bertanya? Apa dia sedang bermaksud mempermalukanku?' kesal Asha. Gadis itu
melirik ke kanan dan kirinya. Banyak orang yang memperhatikan mereka. Oh sial!
Alby menyebalkan!
Asha menghela napasnya dan menjawab dengan lirih, "Aku mencintaimu. Kau
puas?"
"Apa? Kalau berbicara yang keras, Asha. Aku tidak mendengarnya," goda
Alby. Dengan geram Asha menginjak kaki pria itu dan berlalu pergi. Namun
langkah gadis itu terhenti seketika saat merasakan tangannya ditarik ke
belakang. Pasti pria itu. Aisshh....
"Asha, kau mau ke mana?" tanya Alby ramah. Namun bagi Asha itu
terdengar lebih mengerikan daripada bisikan setan sekalipun.
"A-Aku mau ke kelas," jawab Asha takut-takut.
"Sebelum ke kelas, kita ke suatu tempat dulu." Tanpa permisi Alby
langsung menarik tangan Asha.
***
Lapangan sepak bola. Alby mengajak Asha ke lapangan sepak bola.
Lapangan sepak bola. Alby mengajak Asha ke lapangan sepak bola.
"Mau apa kau mengajakku ke sini?" tanya Asha was-was. Asha melihat ke
sekeliling lapangan. Banyak siswa yang menonton mereka. Dan jangan bilang kalau
pria itu mau...
"Mengajakmu bertanding sepak bola, tentu saja. Memangnya mau apa
lagi?" jawab Alby. "Aku akan menawarkan sesuatu yang menarik padamu.
Kalau kau bisa memasukkan bola sekali saja ke dalam gawang sebelum aku berhasil
memasukkan 10 bola, maka aku akan mengatakan sesuatu yang romantis padamu,"
lanjut pria itu. Asha melongo mendengarnya. Gila! Bagaimana bisa dia melawan
Alby yang notabenenya mantan ketua klub sepak bola di sekolah mereka?
Dan....
"Hei kau sudah gila? Menyuruhku melawanmu dengan menggunakan seragam
ini?" tanya Asha, menunjuk seragam sekolah yang dipakainya. Masa iya dia
mau bermain sepak bola memakai rok dan sepatu ber-hak? Dan sebenarnya itu hanya
alasannya saja agar pria menyebalkan ini mau mengurungkan niatnya.
Alby terlihat berpikir sejenak lalu menyeringai. Oh God! Dia terlihat seperti
setan penuh dosa sekarang. Terlalu tampan, terlalu menggoda. Haissshh....
Singkirkan pikiran-pikiran itu Asha!
Alby berjalan ke pinggir lapangan, menghampiri seorang gadis berkacamata. Kalau
tidak salah gadis itu teman sekelas Alby. Asha melihat pria itu tersenyum
kepada gadis berkacamata itu dan berkata sesuatu kepadanya.
"Riska, boleh aku meminjam seragam dan sepatu olahragamu?" tanya Alby
kepada gadis berkacamata yang ternyata bernama Riska itu. Asha memutar bola
matanya. Cisssh.... Perayu ulung.
"Boleh. Sebentar, aku akan mengambilkannya untukmu." Gadis itupun
berlalu pergi untuk mengambil seragam dan sepatu olahraganya. 'Aisshh....
Kenapa juga gadis itu harus menurut kepada Alby? Apa gadis itu menyukai Alby?'
gerutu Asha kesal dalam hatinya. Beberapa saat kemudian gadis itu
kembali.
"Ini seragam dan sepatu olahraganya, Al."
"Thanks ya." Alby pun kembali ke lapangan tempat Asha sedang
menunggu.
"Ganti dengan ini," suruh pria itu.
"Kau ini berniat sekali kan mempermalukanku di depan semua orang?"
kesal Asha. Dan hanya dibalas dengan cengiran lebar oleh Alby. Sial!
***
"Kenapa dia lama sekali?" gerutu Alby sambil memainkan bolanya di
tengah lapangan. Dia sedang menunggu Asha yang tidak juga kembali sejak lebih
dari 5 menit yang lalu. Untung saja hari ini semua guru sedang ada acara, jadi
dia tidak perlu mempercepat permainannya dan bisa menyiksa gadis itu lebih
lama.
"Isssshh.... Kenapa anak perempuan selalu lama kalau ganti baju?"
Alby sudah berdiri dan hendak menyusul Asha ke kamar mandi, tapi langkahnya
terhenti ketika melihat gadis yang ia tunggu sedari tadi sedang berjalan ke
arahnya dengan wajah yang menunduk. Tebakan yang paling memungkinkan adalah
gadis itu malu menjadi pusat perhatian semua orang. Dan sepertinya itu benar.
Tapi perhatian Alby teralih pada rambut gadis itu yang dikuncir kuda.
Memperlihatkan leher gadis itu yang seharusnya tidak ia lihat di saat-saat
seperti ini. Astaga....! Hei Alby! Perhatikan raut wajahmu sendiri! Kau seperti
orang bodoh sekarang.
"Puas kau?!" semprot gadis itu saat sudah berada di depannya. Alby
memperbaiki raut wajahnya menjadi datar lalu menyeringai puas. Dan mereka pun
memulai pertandingan.
***
"Kau curang!" teriak Asha. Sudah 8 kali ia meneriakkan hal yang sama,
dan sudah 8 kali pula Alby berhasil memasukkan bola ke dalam gawang Asha, hal
yang sangat mudah untuk dilakukan pria itu.
"Kau saja yang tidak bisa menendang. Dasar bodoh!" ejek Alby. Pria
itu bersedekap dan memandang Asha remeh. Asha sendiri sudah hampir kehabisan
napas. Tapi ia tidak akan membiarkan pria itu mengalahkannya. Lagipula ia
penasaran akan 'sesuatu yang romantis' yang pria itu janjikan.
"Kau mau menyerah?" tanya Alby dengan lagak sombongnya. Cisshh....
Menyerah katanya?
"Hanya dalam mimpimu," jawab Asha. Gadis itu mengatur napasnya
sejenak, lalu menegakkan badannya lagi. Ia mengatur kembali tatanan rambutnya
yang sudah agak berantakan, mengikatnya menjadi gulungan yang lebih tinggi
lagi. Gadis itu juga mengikat bagian depan baju olahraga yang dipakainya. Baju
itu terlalu longgar untuknya.
Setelah selesai, Asha mendongak, melihat pria di depannya yang sedang
mengalihkan tatapannya ke arah lain dengan wajahnya yang sedikit memerah.
Kenapa pria itu? Malu melihatnya, eh?
"Hei, ayo lanjutkan," ajak Asha. Pria itu kembali menatapnya, tapi
sepertinya sedikit tidak fokus.
"Ayo," balas Alby datar. Asha mengerutkan kening, tidak mengerti
dengan perubahan sikap pria di depannya. 'Pria aneh,' pikirnya.
Pertandinganpun dilanjutkan. Asha berhasil merebut bola. Gadis itu menyeringai
kepada Alby. Namun Alby malah terdiam dan terlihat.... gugup? Entahlah. Atau
matanya saja yang salah lihat?
Dengan semangat Asha menggiring bola itu ke depan gawang Alby. Alby yang
tersadar akan apa yang sedang terjadi langsung mengejar Asha. Namun ia
terlambat karena gadis itu telah berhasil memasukkan bola itu ke dalam
gawangnya.
"GOOOOL!!!" Semua orang berseru senang atas keberhasilan Asha. Gadis
itu tersenyum senang. Akhirnya.....
Di belakangnya, Alby berdiri mematung, menatap nanar kejadian itu. Dia kalah?
Dan itu berarti.... Dia harus menepati janjinya.
"Oke, kau harus berani Al!" sugestinya pada dirinya sendiri. Alby
menghembuskan napasnya pelan untuk meminimalisir kegugupannya, lalu pria itupun
menarik tangan Asha hingga gadis itu berbalik menghadapnya. Mata mereka saling
menatap. Lama mereka melakukan hal itu sampai akhirnya Alby mengatakan
sesuatu.
"Aku...." Pria itu menelan ludahnya gugup.
"Aku...." Kenapa di saat-saat seperti ini ia tidak mempunyai
keberanian?
"Aku...." Pria itu kehilangan fokusnya. Dan dalam sekali sentakan ia
menarik Asha ke dalam pelukannya. Ia menunduk, menyeruakkan wajahnya ke
cekungan leher Asha, meredam suaranya.
"Aku mencintaimu. Kau dengar, kan?"
***
-Epilog-
"Jadi, siapa yang menempel suratku di mading?" tanya Asha pada Nadine
dan Anan. Dengan cepat Nadine menunjuk Anan.
"Siapa yang mempunyai ide tidak manusiawi itu?" tanya Asha lagi. Kali
ini Anan menunjuk Nadine.
Asha menghela napasnya, mencoba untuk bersabar. Di sudut ruang kelas terlihat
Alby sedang berdiri, menonton aksi introgasi yang sedang dilakukan oleh gadis
yang sudah resmi menjadi pacarnya sejak satu jam yang lalu itu. Pria itu
tersenyum kecil ketika melihat wajah gadisnya yang bersungut-sungut karena
jengkel akan kelakuan kedua temannya.
"Nad, kau tahu ini apa?" Asha memegang sebuah surat di tangan
kanannya. Surat milik Nadine. Sontak
Nadine membelalakkan matanya. Asha
menyeringai puas.
"Nan, tangkap!" Asha melemparkan surat itu kepada Anan. Anan pun
menangkapnya dan membuka lipatan surat itu.
"Jangan dibaca!" seru Nadine panik.
"Baca saja," saran Asha santai.
"ASHA MENYEBALKAN!"
"BWAHAHAHAHAHA......"
-END-
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar