Miss 22:00
A story by Laela Nifi & Hasanah Ninggrat
***
Hidup ini adalah pilihan, pilihan untuk jalan mana yang akan kaulalui.
***
Bagi Nada Aristi, pilihannya untuk menjalankan peran seorang anak berusia 5 tahun adalah hal yang harus diambilnya. Gadis berusia 20 tahun ini lari dari kenyatanan yang membuat dia harus memilih, apakah dia akan tersakiti kembali atau menjadi seseorang yang selalu bersembunyi dari kenyataan hidup.
"Kamu itu jangan sok ngatur-ngatur aku ya! Dengar! Aku kasihan sama kamu makanya aku mau pacaran sama kamu. Aku suka sama harta kamu bukan kamu!!!" Kalimat itu adalah kalimat yang selalu terngiang dalam ingatan Nada, di mana Jhon, kekasihnya memberikan tamparan yang menyakitkan untuknya. Dia mengangap Jhon adalah pria baik, namun ternyata sama saja dengan yang lainnya. Pria brengsek yang hanya ingin mendapatkan hartanya untuk dihabiskan dengan gadis lain.
Di saat cintanya pergi meninggalkanya, Nada lagi-lagi dicoba oleh Tuhan dengan berita perceraian kedua orang tuanya, ayah dan ibu tirinya. Perceraian itu membuatnya semakin terpukul. Sejak kecil dia tidak pernah diasuh oleh ibu kandungnya sendiri-ibunya telah meninggal saat melahirkannya. Ia juga tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Ayahnya lebih mementingkan materi dan pekerjaannya. Ibu tirinya juga sama saja, sama sekali tidak perduli padanya. Mereka tidak pernah berpikir bahwa ia sangat membutuhkan kasih sayang.
Di dunia ini mungkin hanya bibi Alma yang mengerti Nada, seorang pengasuhnya dari kecil. Namun semua kasih sayang yang diberikan bibi Alma belum cukup untuk Nada yang haus akan kasih sayang orang tuanya. Jadi di sinilah dia sekarang, terjebak akan hausnya kasih sayang kedua orang tuanya. Sehingga dia memilih untuk bertingkah sebagai anak berusia 5 tahun. Pura-pura tidak mengerti akan kejadian di sekitarnya, dan menikmati kesendirianya.
"Non, waktunya makan siang," ujar bibi Alma mengingatkan.
"Suapin, Bi," balas Nada. Gadis itu sedang sibuk menyisiri rambut boneka barbie miliknya. Segera saja bi Alma mengacungkan sesendok nasi ke mulut Nada yang langsung dilahap oleh gadis itu. Sepertinya gadis itu sudah sangat lapar tapi terlalu sayang untuk meninggalkan boneka barbie-nya.
"Bi, ayah belum pulang ya?" tanya gadis itu sambil mengunyah nasi di dalam mulutnya. Sedangkan tangannya masih saja memainkan boneka miliknya.
"Belum Non. Ayah pulangnya nanti sore," jelas bi Alma. Nada mengerucutkan bibirnya, tidak suka dengan jawaban bi Alma.
"Bibi selalu saja bilang seperti itu. Setiap sore Nada menunggu ayah pulang, tapi ayah tidak pulang-pulang juga. Bibi bohong!" Nada membanting boneka barbie-nya dan beranjak pergi ke kamarnya yang terletak di lantai 2. Dengan segera bi Alma berlari menyusul gadis itu.
Nada masuk ke dalam kamarnya dan langsung saja melemparkan tubuhnya ke ranjang queen size-nya yang dipenuhi berbagai boneka dengan berbagai bentuk dan warna. Gadis itu mengambil satu boneka teddy bear berwarna putih dan memeluknya. Tak terasa dua bulir air mata jatuh membasahi pipi Nada. Gadis itu menangis dalam diam.
Bi Alma masuk beberapa saat kemudian. Wanita tengah baya itu memandang punggung Nada yang menelungkup di ranjang dengan tatapan iba. Kasihan gadis kecilnya itu.
Bi Alma mendekati ranjang Nada lalu membelai rambut gadis itu dalam diam. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk nona kecilnya.
Suatu hari nanti Non Nada pasti akan bahagia.
***
Pukul 22:00
Nada terbangun dari tidurnya. Gadis itu memandang ke sekeliling kamarnya lalu menghela napas. Sepi dan dingin, seperti malam-malam sebelumnya.
Gadis itu beranjak dari ranjangnya, berjalan ke arah balkon kamarnya. Ia menyibak tirai putih dan membuka pintu kacanya. Angin yang berhembus pelan menyapanya seketika itu juga.
Nada menengadahkan wajahnya, menatap bulan yang terang menyinari malam yang gelap.
"Bulan, aku rindu pada ibuku." Sebaris kalimat itu terucap dari mulut Nada. Gadis itu memejamkan matanya dan setetes air mata jatuh membasahi pipinya yang terlihat pucat.
Berbagai macam kejadian berkelebat di otaknya. Dimulai dari ayahnya yang melupakan hari ulang tahunnya yang ke 9. Ia masih mengingat kejadian itu. Ketika ayahnya pulang kerja dan ia menyambut ayahnya dengan gembira, berharap ia mendapatkan sesuatu yang spesial di hari ulang tahunnya. Tapi nihil, ia tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan ayahnya tidak ingat saat ditanya hari itu hari apa.
"Ayah ingat ini hari apa?"
"Hari Jumat, kan? Kenapa kau menanyakannya, sayang? Bukankah di rumah ini banyak kalender? Ah, sudah ya sayang, ayah lelah. Ayah istirahat dulu."
Itulah jawaban ayahnya. Membuatnya yang kala itu baru berusia 9 tahun merasa sangat sedih.
Bayangannya melayang ke kejadian selanjutnya, saat ayahnya mengenalkan seorang wanita yang sangat asing baginya sebagai calon ibunya yang baru. Itu terjadi tepat di hari ulang tahunnya yang ke 11. Ia ingat apa yang ia lakukan tepat setelah ayahnya mengenalkan calon ibu baru itu. Ia menyiram wajah wanita itu dengan segelas susu dingin yang baru saja ia ambil dari dalam kulkas.
Ayahnya marah besar setelahnya. Tapi ia tidak mempedulikannya. Ia memandang wanita itu dengan marah dan mengucapkan sesuatu yang membuat ayahnya bertambah marah kepadanya.
"Aku tidak mau mempunyai ibu baru! Terlebih ibu sepertimu!" Dan ia berlalu pergi setelahnya dengan ditemani bibi Alma.
Tidak hanya sampai di situ saja, ayahnya menikahi wanita itu beberapa hari setelah hari ulang tahunnya. Ia ingat saat itu ia tidak mau bertemu dengan ayahnya dan mengurung diri seharian di dalam kamar sebagai aksi protesnya. Tapi sepertinya ayahnya itu sudah tidak peduli lagi padanya, dan membiarkannya begitu saja sampai ia ditemukan pingsan keesokan harinya.
Kejadian selanjutnya terjadi saat ia masih duduk di kelas satu SMA. Ia mempunyai seorang pacar bernama Jhon, pacar pertamanya. Di awal-awal menjalin hubungan pria itu sangat baik kepadanya. Tapi beberapa bulan kemudian pria itu berubah menjadi pria yang sangat menyebalkan, memperlihatkan kepribadian asli pria itu. Pria itu mengkhianatinya, dan lebih dari itu Jhon hanya menginginkan hartanya saja. Hal itu tentu saja membuatnya terpuruk seketika itu juga. Ia menangis sendirian di dalam kamarnya yang sunyi. Sampai beberapa jam setelah itu ia mendengar suara pertengkaran antara ayahnya dengan ibu tirinya di ruang tamu. Ibu tirinya meminta cerai. Ia lega mendengar hal itu, tapi juga benci di saat yang bersamaan.
Ia merasa sangat pusing setelah menangis gara-gara Jhon yang mengkhianatinya, dan bertambah pusing lagi setelah mendengar pertengkaran orang tuanya. Tidakkah mereka mengerti sedikit akan perasaannya?
Dalam rasa pusingnya ia masih sempat bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Tuhan memberikan cobaan-cobaan seperti ini kepadanya? Semakin ia tumbuh dewasa, semakin sulit cobaan yang dilaluinya. Membuatnya stres dan ingin sekali kembali menjadi anak kecil. Setidaknya anak kecil tidak akan terlalu memikirkan suatu masalah sampai ke detailnya, dan hanya menganggap masalah-masalah itu sebagai angin lalu.
Nada membuka matanya. Bulan sudah tertutup oleh awan hitam. Sinarnya sudah tidak terlalu terang lagi. Gadis itupun beranjak kembali ke dalam kamarnya dan melanjutkan tidurnya.
***
Pagi harinya...
Nada sedang meminum susu stroberinya ketika paman Bakri, supir pribadinya berjalan ke arahnya dengan senyum lebar. Terdapat seorang pria lain yang belum pernah dilihatnya mengikuti paman Bakri di belakangnya.
"Selamat pagi, Nona," sapa paman Bakri.
"Pagi Paman," balas Nada. "Itu siapa?" Tunjuk gadis itu pada seseorang di belakang paman Bakri.
"Oh ya. Ini paman Azka Alvian Putra," ujar paman Bakri memulai. Di belakangnya Azka mengerutkan dahi dan terlihat tidak terima dengan sebutan yang diberikan oleh paman Bakri. Paman? Hei dia tidak setua itu!
"Paman Azka akan menjadi pengawal baru Nona," terang paman Bakri.
"Hai Paman Azka." Nada melambaikan tangannya pada Azka sebagai sapaan pertamanya pada 'Paman' barunya.
"Hai Nona." Mau tidak mau Azka ikut melambaikan tangannya dan berusaha untuk tersenyum walaupun senyumnya terlihat sangat dipaksakan. Berbagai pertanyaan memenuhi otaknya. Dan ia harus segera menemukan jawabannya.
"Paman, main yuk!" ajak Nada. Gadis itu dengan semangat menarik-narik lengan Azka. Mau tidak mau Azka harus menurut. Pria itu hanya diam, tidak banyak bicara, binggung dengan sikap majikan barunya.
"Paman ajari aku naik sepeda ya," pinta Nada. Dahi Azka berkerut, heran. Masa iya gadis sebesar ini tidak tahu cara menaiki sepeda?
"Baiklah, paman akan mengajarimu naik sepeda," jawab Azka sedikit tidak yakin. "Tapi, mana sepedanya?" tanya pria itu kemudian.
"Itu." Nada menunjuk ke arah sebuah sepeda kecil yang ada di samping rumah. Hei, sepeda itu terlalu kecil untuk gadis sebesar Nada! Yang benar saja?
Azka semakin binggung dengan semua yang dikatakan nona mudanya. Tapi tetap saja dia menangapinya. "Tapi Non, sepeda itu tidak cocok untuk Non, terlalu kecil untuk Non Nada naiki," ujar Azka pelan mencoba menjelaskan agar nona mudanya tidak salah paham dengan penolakannya.
"Tapi aku mau naik sepeda itu!" balas Nada, masih pada pendiriannya. Azka menghela napasnya. Ia seperti sedang mengasuh anak kecil.
***
"Ah Paman, kenapa sepeda ini susah sekali untuk dinaiki?" keluh Nada dengan wajah cemberutnya. Gadis itu sudah berkali-kali mencoba untuk menggayuh sepedanya, tapi kakinya terlalu panjang untuk bisa menggayuh sepeda itu. Ingin rasanya Azka tertawa melihat raut wajah merengut nona mudanya itu. Tapi lama-lama ia kasihan juga.
"Sudahlah Nona, kita sudahi saja acara menaiki sepedanya. Kau sudah lelah. Lihatlah, banyak keringat di wajahmu," nasihat Azka. Pria itu melayangkan tangannya ke wajah Nada, mengusap keringat gadis itu.
"Sudah Non, jangan dipaksakan. Benar kata paman Azka kalau sepeda itu terlalu kecil untuk Non naiki," bela bibi Alma yang sedari tadi melihat nona kecilnya belajar menaiki sepeda.
"Tapi kan....." ucap Nada ingin memprotes dengan bibir mengerucut.
"Ah, Non kan punya sepeda yang lebih besar lagi di garasi, bagaimana kalau gantian paman Azka yang naik sepeda dan Non dibonceng paman Azka saja?" usul paman Bakri yang berdiri di samping bibi Alma.
Lama Nada berfikir. "Baiklah, tapi setelah itu ajari Nada bersepeda lagi ya, paman?" pinta Nada kembali bersemangat.
***
"Bagaimana Non?" tanya Azka pada nona mudanya. Gadis yang diboncengnya hanya diam tak menjawab, membuat Azka curiga. Jangan-jangan gadis itu tertidur.
Azka pun menghentikan gayuhan sepedanya dan menengok ke belakang. Benar saja, gadis itu tertidur lelap. Tapi kenapa gadis itu tidak bersandar padanya? Kalau gadis itu jatuh bagaimana? Pasti dia yang akan disalahkan.
Tetapi kemudian ia mendapati tangan nona mudanya memegangi bajunya erat. Bagaimana bisa orang yang tertidur bisa begitu erat memegang sesuatu? Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.
Hah... Gadis ini benar-benar ajaib.
***
"Cepat sekali main sepedanya Den?" sapa bibi Alma saat Azka memasuki gerbang ruamah.
"Iya bi. Non Nada-nya ternyata tertidur saat saya bonceng," jawab Azka pelan takut nona mudanya terbangun dalam gendongannya.
"Langsung saja Den ke kamar. Kamarnya di lantai 2 dekat tangga." Tanpa memjawab Azka langsung menuju tempat yang ditunjuk bibi Alma.
Azka mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar Nada setelah terlebih dahulu meletakan Nada di tempat tidur. Azka terpaku melihat isi kamar nonanya. Mengapa banyak mainan anak kecil di sini, pikirnya bertanya-tanya.
Gadis macam apa kau sebenarnya, Nona?
***
"Bi Alma, apa aku boleh bertanya?" tanya Azka pada bibi Alma. Sekarang mereka sedang berada di dapur. Bibi Alma sedang memasak untuk makan malam nona kecilnya.
"Tentu saja boleh," jawab bi Alma singkat.
"Sebenrnya apa yang terjadi dengan nona kita bi?" tanya Azka langsung. Bibi Alma tidak langsung menjawab. Wanita itu malah tersenyum mendengar pertanyaan Azka.
"Sudah kuduga kau akan menanyakan hal ini," mulai bi Alma. Wanita itu menghentikan kegiatan memasaknya.
"Pertanyaanmu sama seperti pertanyaan pengawal-pengawal non Nada sebelumnya, kau tahu? Mereka sama sepertimu, penasaran dengan apa yang terjadi pada nona kecil." Bi Alma menghela napasnya.
"Non Nada-bisa dibilang-mengalami gangguan jiwa sejak 4 tahun yang lalu."
"Maksud Bibi bagaimana? Eh, maksudku bagaimana bisa hal itu terjadi?" tanya Azka makin penasaran.
"Nona kecil tidak mau menjadi dewasa. Karena menurutnya semakin ia menjadi dewasa, semakin banyak masalah yang akan ia hadapi," terang bi Alma.
"Bagaimana mungkin dia bisa berpikiran seperti itu?" tanya Azka lagi. "Sudah sewajarnya jika manusia tumbuh dewasa, semakin tua. Tidak ada yang bisa mengingkari takdir Tuhan yang satu ini."
"Mungkin bagi Aden mudah mengatakan hal itu. Tapi untuk nona kecil kita itu sangatlah sulit," balas bibi Alma dengan senyum yang membuat hati teriris.
"Nona kecil kita tidak pernah merasakan kasih sayang Den, mungkin itu bisa jadi alasan yang paling kuat untuk semua pertanyaan Aden," tutur bibi Alma menutup pertanyaan yang hampir ditanyakan Azka.
Azka terdiam. Tidak bertanya atau menanggapi jawaban bibi Alma lagi. Ia masih tidak menyangka ada gadis seperti Nada, gadis cantik dan kaya yang tidak pernah mendapatkan kasih sayang. Ia jadi iba pada gadis itu.
Ingin rasanya Azka memulihkan keadaan nona mudanya itu. Tapi, bagaimana caranya?
***
Hari berikutnya
"Paman Azka sedang apa?" tanya Nada saat dilihatnya Azka sedang berada di taman bunga di belakang rumah. Merasa dipanggil namanya, Azka berbalik dan menemukan nona mudanya sedang menatapnya bingung.
"Oh? Ini, paman sedang menyirami bunga," jawab Azka sambil menunjukkan selang air yang sedang dipegangnya. Melihat hal itu Nada berlari mendekati Azka. Mata gadis itu berbinar-binar melihat air.
"Boleh aku membantu Paman?" tanya Nada dengan senyum bocahnya.
Azka memincingkan matanya menatap nona mudanya. Dengan sedikit tidak yakin dia menjawab. "Boleh." Dan sedetik kemudian selang air itu sudah berpindah ke tangan Nada. Gadis itu merebutnya.
Nada menyemprotkan air ke tanaman-tanaman bunga di depannya dalam gerakan teratur. Tapi lama-lama gadis itu menyemprotkan air ke segala arah, membuat Azka mendelik.
"Nona, jangan menyemprotkan airnya ke arah lain. Siram saja bunganya," larang Azka. Tapi rupanya Nada tidak mengindahkan ucapan pria itu dan tetap menyemprotkan air ke segala arah. Bahkan sekarang selang air itu diarahkan kepadanya.
"Nona, kenapa paman yang disemprot?" Azka berusaha menghindar, tapi Nada malah mengejarnya.
"Hahahaha...." Gadis itu tertawa senang melihat pengawalnya yang basah kuyup. Tidak mau kalah dari Nada, Azka balik mengejar gadis itu. Tapi dengan sigap Nada berlari sekencang mungkin menghindari Azka hingga terjadilah aksi kejar-kejaran antara pengawal dan majikan itu.
Selama Nada berlari, selama itu pula air mengalir dari selang yang dipegang gadis itu. Membuat tanah di taman itu menjadi becek.
Lama mereka berkejar-kejaran hingga membuat Nada kelelahan. Gadis itupun menghentikan langkahnya, dan saat itu pula Azka berhasil menangkapnya.
"Yaaaa... Kena kau Nona." Azka memeluk pinggang Nada dari belakang dan mengangkat gadis itu. Ia memutar-mutar tubuhnya, dan secara otomatis tubuh Nada ikut berputar-putar.
"Kyaaaa.... Paman.... Hahaha...." Gadis itu menjerit takut, tapi juga tertawa, membuat Azka semakin bersemangat memutar-mutar tubuh mereka.
Namun tanah yang becek membuat tubuh Azka oleng, dan mereka berdua pun terjatuh.
"Arghhh..." erang Azka kesakitan ketika punggungnya mendarat di atas tanah. Ditambah lagi Nada jatuh menimpa tubuhnya, membuat tubuhnya tambah sakit.
"Astaga! Sedang apa kalian?" seru bibi Alma, kaget dengan apa yang dilihatnya. Buru-buru wanita itu berlari mendekat ke tempat Azka dan Nada terjatuh. Tapi tiba-tiba.... Bughh.... Bibi Alma ikut terjatuh. Hening sejenak. Tapi detik berikutnya ketiga orang itu tertawa.
"Apa yang sedang kalian lakukan?!" tanya seseorang dengan nada marah dari arah pintu. Ketiga orang itu berhenti tertawa dan melihat siapa yang bertanya barusan. Dan, oh gawat! Itu ayah Nada!
***
"Apa yang kau lakukan pada putriku?" tanya ayah Nada langsung saat Azka baru masuk ke dalam ruang kerja pria paruh baya itu. Azka terkaget untuk sesaat sebelum menjawab pertanyaan ayah Nada.
"Kami hanya bermain," jawab Azka santai.
"Tapi Nada terjatuh!" Wajah Wiranata, ayah Nada, mengeras. Pria itu memandang Azka tajam.
"Dan dia terjatuh di atas tubuh saya." Azka mengingatkan.
"Kau hanya bodyguard! Kau kubayar untuk menjaganya, bukan untuk bermain seperti orang bodoh!" cerca ayah Nada.
"Memangnya tidak boleh seorang bodyguard menemani nonanya bermain? Sepertinya Anda begitu khawatir." Azka kembali menyerang."Anda bahkan tidak mempedulikan Nada sedikit pun. Tapi kenapa sekarang Anda terlihat khawatir sekali? Itu bahkan hanya sebuah kecelakaan kecil saat bermain! Hal itu sudah biasa." Azka memandang Wiranata dengan pandangan meremehkan, walaupun sebenarnya maksudnya bukan seperti itu.
"Apa maksudmu?" tanya ayah Nada terlihat bingung. "Aku ayahnya, tentu saja aku peduli dan khawatir terhadapnya!" Pria paruh baya itu semakin memandang Azka dengan tajam.
"Anda khawatir, tapi Anda tidak pernah sedikit pun memperlihatkan kekhawatiran Anda terhadapnya. Anda peduli, tapi apa yang Anda lakukan selama ini? Anda selalu menomorduakan Nada, dan lebih mementingkan pekerjaan Anda. Tidakkah Anda sadar akan hal itu?" Dada Azka naik turun menahan emosi. "Apakah Anda pernah meluangkan waktu Anda sedikit saja untuk putri Anda? Tidak pernah, kan?"
"Kau jangan sembarangan menasihatiku! Aku tahu apa yang aku berikan untuk putriku!" Ayah Nada melanjutkan. "Kau kira kau siapa berani berbicara seperti itu, hah? Sekarang sebaiknya kau keluar dari ruanganku! Banyak hal yang harus kukerjakan," usir ayah Nada.
"Sudah kukatakan, kan? Anda lebih mementingkan pekerjaan Anda. Baiklah, semoga anda bisa berpikir. Saya permisi." Azka keluar dari ruangan itu dan membanting pintu dengan keras.
"Paman tidak apa-apa?" Nada menyambut Azka di luar ruang kerja ayahnya. Raut wajah gadis itu terlihat cemas.
"Paman tidak apa-apa." Azka menepuk-nepuk pelan kepala Nada. Senyum tersungging di wajah pria itu, berusaha untuk tidak membuat nonanya itu khawatir.
"Baguslah." Nada tersenyum ala bocah. "Ayo Paman, kita ke dokter."
***
"Paman, apakah aku cantik?" tanya Nada kepada Azka dengan suara khas anak-anaknya. "Tidak ya?" tanya gadis itu lagi saat melihat Azka hanya diam saja.
Azka mengerutkan dahi. Kenapa nonanya tiba-tiba bertanya seperti itu?
"Eh . . . tentu saja Nona cantik," jawab Azka pada akhirnya. Ya tentu saja nonanya ini cantik, batin azka. Kalau ada yang menyebut nonanya ini jelek pasti mereka buta.
"Baiklah, jika aku cantik bagaimana kalau Paman berjanji satu hal kepadaku?" lanjut Nada. "Menikahlah denganku saat aku sudah besar nanti seperti film itu, Paman," tunjuk Nada. Mereka kali ini sedang menonton film dari DVD di kamar Nada. Nona mudanya ini tadi memaksanya menemaninya menonton film sepulangnya gadis itu dari terapi kejiwaan yang rutin dijalaninya.
"Eh..." Azka kebingungan menjawab pertanyaan Nada. Saat dia sudah besar nanti, batin Azka. Masalahnya, mau sebesar apa lagi nona mudanya ini? Sekarang saja usianya sudah 20 tahun. Dan menikah? Dia bahkan belum pernah memikirkan hal itu.
"Berjanjilah, Paman. Ulurkan jari kelingking Paman kalau sedang berjanji," paksa Nada meraih jari kelingking Azka. Gadis itu tersenyum senang melihat jari kelingking mereka bertautan lalu beralih memandang tv di depan mereka. Nada menyenderkan kepalanya pada bahu Azka membuat pria itu berjengit kaget, namun gadis itu mengapit lengan Azka dengan erat agar pria itu tetap diam di tempatnya. Azka pun hanya pasrah menerima perlakuan dari nona mudanya itu. Tapi sesaat kemudian Azka tidak mendengar suara apa-apa dari mulut nonanya, membuat pria itu mengernyit. Tapi sedetik kemudian ia menemukan jawabannya.
"Ternyata kau sudah tidur, Nona," ucap Azka pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Pria itu hendak memindahkan nonanya ke ranjang, tapi ia ingat bahwa lengannya diapit dengan erat oleh nonanya itu, membuatnya tidak bisa bergerak.
Lalu, bagaimana ini? Haruskah mereka tidur dengan posisi duduk seperti ini sepanjang malam?
***
22:00
Nada mengerjapkan matanya. Sesaat kemudian ia tersadar kalau ia tertidur di sofa kamarnya. Gadis itupun melirik ke sampingnya, tersenyum setelah menemukan Azka masih tetap di tempatnya dengan mata tertutup rapat. Pria itu tertidur.
Nada bergerak pelan, tidak ingin membangunkan pria itu. Tapi Azka, yang sepertinya sudah terbiasa dengan gerakan sekecil apapun, langsung mengerjap terbangun.
"Nona, kenapa kau bangun? Ini kan masih jam....." Pria itu melihat ke arah jam yang terpasang dinding dan menemukan jarum pendeknya berada di angka 10 dan jarum panjangnya di angka 12.
"Jam 10 malam," jawab Nada mendahului. Ia tentu tahu jam berapa sekarang, mengingat ia sudah biasa terbangun tepat jam 10 malam.
"Ah iya, jam 10 malam. Lalu kenapa Nona bangun?" Azka mengulang pertanyaannya. "Apa Nona mendapat mimpi buruk?" lanjut Azka. Pria itu menatap wajah nonanya lekat-lekat, menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut gadis itu. Tapi Nada hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan Azka. Azka pun bertanya lagi.
"Lalu? Apa Nona haus? Mau paman ambilkan susu?" Tapi sekali lagi Nada hanya tersenyum dan menggeleng, membuat Azka kebingungan.
"Lalu kenapa Nona bangun?" ulang Azka untuk yang ketiga kalinya. Dan kali ini Nada membuka suaranya.
"Aku sudah biasa terbangun jam segini."
Ada yang berbeda dari jawabannya, batin azka. Apa maksud nonanya ini dengan sudah terbiasa, dan mengapa dia seperti bukan nonanya yang tadi menonton bersamanya?
"Nona mau ke mana?" tanya Azka saat dilihatnya Nada beranjak dari duduknya. Namun gadis itu tidak menjawab pertanyaannya lagi.
Azka melihat nona mudanya itu melangkah ke arah balkon. Buru-buru ia mengambil jaketnya yang sebelumnya ia sampirkan ke sandaran sofa, dan berlari menyusul nonanya ke balkon.
"Apa yang mau Nona lakukan
di sini? Di sini sangat dingin. Nona bisa masuk angin," ujar Azka berusaha mengingatkan. Pria itu memakaikan jaketnya pada bahu Nada.
"Aku hanya ingin melihat bulan," jawab Nada pada akhirnya. Gadis itu memandang bulan di langit. Bulan itu tertutup awan hitam. Azka pun ikut memandangi bulan itu.
"Bulan, aku rindu pada Ibu," ucap Nada pelan, sangat pelan hingga nyaris seperti bisikan. Spontan Azka menengok ke arah nonanya. Ia bisa melihat nonanya itu sedang memejamkan matanya, dan sedetik kemudian setetes air mata jatuh dari kelopak mata yang tertutup itu.
Dengan ragu-ragu Azka bertanya. "Nona, baik-baik saja?"
Mendengar pertanyaan itu Nada pun membuka matanya dan memandang Azka.
"Aku tidak baik-baik saja," jawab Nada lirih. Air mata mengalir dari kedua mata gadis itu, dan sedetik kemudian gadis itu menghambur ke pelukan Azka, menangis di sana. Azka sempat terkejut sesaat, tapi ia membiarkan gadis itu memeluknya dan menangis di dadanya. Dengan ragu Azka mengangkat tangannya, meletakkannya di punggung Nada, dan mengusap punggung gadis itu dalam gerakan lambat.
Lama mereka dalam posisi seperti itu. Tidak ada yang bicara. Baik Azka maupun Nada memilih untuk bungkam. Tapi beberapa saat kemudian kesunyian itu terpecah dengan suara rintik hujan yang samar.
Azka melonggarkan pelukannya lalu memandang nonanya yang masih saja menangis.
"Nona, hujan. Sebaiknya kita masuk," ajak Azka. Tapi Nada hanya diam, tidak bergerak sedikitpun. Gadis itu tidak memperdulikan wajahnya yang basah, tidak hanya karena air matanya yang terus menetes tapi juga hujan yang semakin lama semakin deras. Azka sampai bisa melihat tubuh gadis itu menggigil.
"Nona, ayo kita masuk ke dalam," ajak Azka sekali lagi. Bibir Nada bergetar saat hendak berbicara.
"Tidak! Aku ingin tetap di sini. Mungkin saja setelah ini aku akan sakit dan ayah akan perhatian padaku," balas Nada, menolak dengan kekeraskepalaannya. Terlihat rahang Azka mengeras, marah mendengar perkataan Nada.
"Jangan bodoh, Nona!" bentak Azka, membuat Nada berjengit kaget. "Kau pikir ayahmu akan berubah menjadi perhatian kalau kau sakit? Tidak! Yang ada malah beliau akan marah terhadapmu, kau tahu?"
"Apa pedulimu?"
"Aku peduli padamu, Nona. Kumohon jangan seperti ini..." Azka berhenti sejenak dan menghela napas pelan. "Ayo kita masuk." Sekali lagi Azka mencoba merayu nada, kali ini dengan lebih lembut dan tulus.
"Sebentar lagi. Aku masih ingin di sini. Kau saja yang masuk," balas nada sekenanya.
"Nona~"
"Tidakkah seharusnya kau mematuhiku?!" bentak Nada pada Azka. Azka terdiam mendengar bentakkan Nada. Sedangkan Nada membuang muka, tidak lagi menghadap Azka.
Lagi, Azka menghela napasnya. Dia tidak bisa hanya berdiam diri di sini saja. Dia harus melakukan sesuatu. Dan sebuah ide terlintas di benaknya.
"Maaf Nona, aku harus melakukan ini," ucap Azka, dan dengan secepat kilat pria itu menaikan tubuh mungil Nada ke pundaknya.
"Kyaaa..... Apa-apaan kau?" pekik Nada kaget. "Turunkan aku!" Gadis itu memberontak. Tangannya memukul-mukul tubuh Azka sekenanya dan kakinya menendang-nendang tak tentu arah.
"Diam, atau Nona aku jatuhkan sekarang juga!" ancam Azka. Pria itu sedikit menurunkan kepala Nada, bermaksud menunjukkan ancamannya, membuat Nada membelalakkan matanya ngeri.
"Stop! Oh ok, aku akan menurut. Puas kau Tuan Azka?"
"Anak pintar."
***
Keesokan harinya
"Bi Alma, paman Azka di mana?" tanya Nada pada bi Alma yang sedang memasak di dapur. "Dari tadi Nada cari tidak ada di mana pun."
"Paman Azka?" tanya bi Alma memastikan, dan dijawab dengan anggukan oleh Nada. "Tadi paman Azka sempat berpamitan pada bibi, katanya kakeknya masuk rumah sakit, jadi paman Azka harus segera pergi ke rumah sakit," terang bi Alma.
"Oh, begitu. Hmm..... Sayang sekali. Padahal Nada mau minta diajari berenang." Nada tertunduk sedih. Bi Alma yang melihatnya hanya bisa tersenyum miris. Dulu nona bahkan sangat pandai berenang. "Tapi sudahlah, mungkin lain kali saja. Dan bi, tolong sampaikan pada paman Azka, semoga kakeknya cepat sembuh," lanjut Nada. Gadis itu lalu berbalik pergi menuju kolam renang di samping rumah, meninggalkan bi Alma yang tengah tersenyum. Nonanya itu sangat baik, bukan?
***
Di rumah sakit
"Paman, bagaimana keadaan kakek?" tanya Azka pada paman Agus-orang kepercayaan kakeknya- setibanya ia di depan ruangan tempat kakeknya dirawat.
"Oh, Tuan Muda sudah datang. Tuan besar sudah lebih baik sekarang," jawab paman Agus. Azka menghembuskan napas lega mendengarnya.
"Baguslah."
"Tadi pagi Beliau terkena serangan jantung saat melihat laporan keuangan perusahaan," terang paman Agus memulai.
"Laporan keuangan?" Paman Agus mengangguk mengiyakan.
"Pada laporan itu menunjukkan jika perusahaan mengalami penurunan pendapatan. Padahal berdasarkan laporan yang saya dapatkan dari orang-orang yang bekerja di lapangan, tidak ada tanda-tanda perusahaan mengalami penurunan penjualan barang. Jadi mustahil jika dalam laporan keuangan perusahaan mengalami penurunan pendapatan. Pasti ada yang memanipulasi laporan itu, dan itu yang menyebabkan Tuan Besar marah sampai terkena serangan jantung." Paman Agus menyelesaikan penjelasannya.
"Menurut Paman siapa yang melakukan semua ini?" tanya Azka, lebih seperti gumaman. Pria itu mengusap-usap dagunya dengan jari telunjuk, menunjukkan jika dia sedang berpikir keras.
"Entahlah. Yang pasti orang-orang bagian keuangan," jawab paman Agus, dan sedetik kemudian pria paruh baya itu menyeringai. "Ini saatnya kau ikut turun tangan, Tuan." Azka memandang cepat ke arah orang kepercayaan kakeknya itu.
"Haruskah?"
"Tentu saja."
***
Nada memandangi air dalam kolam dengan bosan, lalu berganti melirik ayahnya yang sedari tadi tidak henti-hentinya bertelepon dengan seseorang-yang entah siapa ia tidak tahu-dari atas kursi santainya.
Ini hari libur, tapi kenapa ayahnya masih saja sibuk? Nada mendengus kesal. Kalau saja ada paman Azka, dia tidak akan sebosan ini!
Gadis itu beranjak dari duduknya di tepi kolam dan hendak pergi ke dalam rumah-percuma ia di sini, tidak ada yang bisa diajaknya bermain, tapi ternyata tepian kolam itu sangat licin dan Nada pun tercebur ke dalam kolam.
'Byuuuurr....'
"Emm..... Ayah tolong!" Dalam kesadarannya yang kian menghilang Nada masih sempat meminta tolong pada ayahnya, juga berdoa dalam hati. Tuhan, kumohon selamatkan aku. Dan biarkan ayah mendengarku untuk kali ini saja, aku mohon.
Sejurus kemudian gadis itu sudah tidak sadarkan diri.
***
-TBC-